Stuart duduk dibangku panjang didepan ruang kepala sekolah. Ayahnya ada didalam sedang bicara dengan Kepala Sekolah. Ayahnya dipanggil karena tadi siang Stuart memukul temannya. Ayahnya keluar dan langsung menarik Stuart. Mereka menuju parkiran. Di dalam mobil ibu dan kakak Stuart sedang menunggu.
“Apa yang kau lakukan? Kau itu masih SMP tapi kelakuanmu sudah seperti berandal,” bentak ayahnya.
“Dia mendorongku,” . Stuart berkilah.
“Tapi kau tidak perlu memukulnya sampai berdarah. Ayah tak ingin ada kejadian seperti ini lagi. Paham?”.
Stuart tak menjawab.
“Stuart, aku bicara padamu,” bentak ayahnya.
“Ya. Oke. Aku dengar,” jawab Stuart kesal. Ia membanting pintu mobil dan duduk memojok. Ayahnya menghela napas.
Dalam perjalanan pulang Ayah Stuart tidak tenang. Pikirannya kemana-mana. Ia tak fokus saat menyetir. Ayah Stuart kaget saat tiba-tiba ada seekor anjing menyebrang jalan. Ia membanting setir ke kanan. Mobilnya tergelincir, berputar dan bagian belakangnya menabrak pohon.
***
Stuart membuka matanya. Rasa pusing menyerangnya. Ia tak mampu bangkit. Ia hanya bisa melihat keadaan sekitarnya. Stuart melihat ayahnya disudut ruangan. Ibu dan kakaknya tidur dikursi dekat tempat ayahnya berdiri. Stuart bersuara, ayahnya menoleh.
“Stuart, kau bangun, nak,” suara ayahnya memecah keheningan. Ibu dan kakaknya bangun.
“Cepat panggilkan dokter,”. Kakak Stuart bergegas.
“Ada apa ini? Kenapa aku terbaring disini?”
“Nak, sudah 12 hari kau koma. Syukurlah kau sadar. Maafkan ayah,”. Stuart hanya diam.
Beberapa hari kemudian keadaan Stuart membaik. Ia diperbolehkan pulang. Dalam perjalanan pulang Stuart membenamkan dirinya di jok belakang. Dalam mobil hanya ada dia dan ayahnya. Didepan ada sebuah mobil berjalan pelan. Ayah Stuart kaget dan langsung menginjak rem. Mobil putih didepannya sedikit tergores. Kedua mobil berhenti. Orang didepan melihat kondisi mobilnya yang tergores cukup dalam. Ayah Stuart keluar dan meminta maaf. Stuart pun keluar dan melihat orang itu tersenyum pada ayahnya.
Kemudian keluar seorang gadis dari dalam mobil putih itu. Ia tersenyum lalu mendekati Stuart. Gadis itu menjulurkan tangannya.
“Hai, aku Brenda,” sapa gadis itu.
“Aku Stuart,”.
Gadis ini manis. Matanya hijau seperti emerald.
“Rumahku didekat sini. Kau mau mampir?” Tanya gadis itu. Tapi tiba-tiba ayah Stuart memanggil. Stuart hanya tersenyum.
“Ya, aku tahu. Mungkin lain kali. Dah,” kata gadis itu. Stuart mengangguk. Gadis itu tersenyum.
Stuart masuk ke mobil. Tampak ayahnya menyapa orang disebelah Brenda. Mobilnya sudah melaju beberapa meter. Stuart menoleh kebelakang. Brenda melambai. Wajah Stuart merah padam.
***
Stuart kembali ke sekolah. Teman-temannya menyambutnya. Lalu masuk seorang gadis cantik. Itu Brenda.
“Dia itu murid baru di kelas ini. Namanya Brenda. Dia datang saat kau koma” bisik salah seorang teman Stuart. Stuart hanya tersenyum.
Brenda berjalan menuju bangkunya. Tepat di depan bangku Stuart dia berhenti, member senyum kemudian duduk di bangkunya. Stuart memandangi Brenda dari belakang. Gadis yang anggun.
Sepulang sekolah Stuart bergegas menaiki bis sekolah. Ia memilih duduk di bangku paling dalam. Brenda mengejarnya. Mereka duduk berdampingan sambil sesekali mengobrol. Tepat di sebuah gang besar Stuart turun. Brenda mengikutinya.
“Hai, kau juga turun disini?” tanya Stuart.
“Ya, rumahku disitu,” jawab Brenda sambil menunjuk rumah didepannya. “Dimana rumahmu?” tanyanya.
“Di ujung gang ini,” jawab Stuart singkat.
“Aku mau menagih janji. Ayo mampir ke rumahku!” ajak Brenda. “Ayolah, aku ingin mengenalkanmu pada seseorang”.
“Baiklah, tapi aku harus tiba dirumah sebelum pukul 3”
“Takkan lama”. Brenda menarik tangan Stuart.
Mereka tiba di halaman rumah besar khas orang perancis. Beberapa orang pelayan membukakan pintu. Brenda menyuruh Stuart masuk. Stuart duduk di sofa besar yang nyaman. Rumah ini sangat besar, seperti rumah impian. Tiba-tiba datang seorang pelayan membawakan segelas minuman dingin.
“Permisi. Boleh kutahu dimana Brenda?” tanya Stuart pada pelayan itu.
“Tuan mencari nona? Baik, akan saya panggilkan.”
Tak lama kemudian Brenda datang. Ia langsung menarik tangan Stuart.
“Hei, kita mau kemana?”
“Sudahlah ikut saja!”
Stuart berjalan di belakang Brenda. Mereka menuju lantai atas, kemudian masuk ke sebuah bilik berpintu kayu. Tampak seorang wanita sedang terbaring lemah.
“Ayo masuklah!”
Stuart mendekat perlahan. Wanita itu tersenyum padanya.
“Ibu, ini Stuart, temanku. Stuart, dia ibuku” kata Brenda memperkenalkan. Stuart mengangguk pada ibu Brenda. Hanya dibalas senyuman kecil.
“Mendekatlah!” pinta Brenda.
Stuart mendekat sehingga tangan ibu Brenda bisa menyentuh wajahnya. Diusapnya pipi Stuart dengan lembut, lalu ia tersenyum. Brenda tersenyum, tapi wajahnya berkaca-kaca seperti ingin menangis. Stuart menyadari itu.
***
Stuart duduk di sofa yang nyaman itu lagi. Brenda duduk tepat di depannya.
“Tadi kau nyaris menangis.”
“Kau melihatnya? Maaf
“Bisa ceritakan alasannya?” tanya Stuart hati-hati.
“Dulu aku punya kakak laki-laki. Namanya kamga. Dia mirip sepertimu…” nada suaranya melemah. “Kau benar-benar mirip dengannya. Dia sangat baik. Semua orang menyayanginya. Tuhan juga sangat manyayanginya. Karena itu Tuhan mengambilnya.”
“Maaf” kata Stuart pelan. Ia menyesal telah bertanya.
Brenda tersenyum kecil.
“Lalu dimana ayahmu?”
“Ayahku seorang pelaut. Jarang pulang. Terakhir kudengar kapalnya hilang. Entahlah. Aku masih menunggunya sampai sekarang.”
“Lalu siapa yang bersamamu kemarin?”
“Dia supirku,”
“Maaf”. Stuart merasa bodoh. Kenapa ia harus menanyakan hal-hal itu. Ia benar-benar menyesal.
“Tak apa”.
Stuart melirik jam dinding
“Aku harus pulang”
***
Stuart merasa Brenda membutuhkannya. Mereka menjadi sahabat. Mereka banyak bersenang-senang. Stuart sering berkunjung ke rumah Brenda. Ia datang menghibur ibu Brenda yang sedang sakit. Ia senang kalau kedatangannya bisa membantu.
Tapi beberapa bulan kemudian ibu Brenda meninggal dunia. Sekarang di rumah besar itu Brenda tinggal bersama pelayan-pelayan setianya dan warisan dari keluarganya.
Suatu hari Brenda menunjukkan hartanya yang paling berharga kepada Stuart. Sebuah lagu instrumental ciptaan kamga.
“Aku ingin mendengar lagu ini,” kata Brenda. Kebetulan Stuart bisa bermain biola. Ia coba memainkan lagu ini. Cukup susah, namun ia bisa melakukannya.
“Kau hebat” puji Brenda
“Menurutku itu tadi berantakan”
“Kau harus sering latihan! Suatu hari nanti mungkin aku ingin mendengarnya lagi”
Dua bulan Stuart berlatih. Sekarang ia ingin menunjukkannya pada Brenda.
“Lagu ini benar-benar indah. Kau hebat sekali,” puji Brenda. “Kita jadikan ini harta kita!” serunya.
Mereka berlari menuju taman diujung tikungan rumah Brenda. Lalu mereka menggali tanah dibawah pohon beringin tua dan memasukkan sebuah kotak kecil berisi lagu itu. Di tempat itulah mereka sering bertemu.
Tempat itu menjadi tempat rahasia mereka. Tempat itu sangat indah. Sayangnya beberapa puluh meter dari tempat itu ada semacam turunan yang curam, tetapi mereka tetap merasa aman karena di tepian turunan itu terdapat batu-batu besar yang akan menahan mereka sehingga mereka tidak akan jatuh. Dan setiap hari sepulang sekolah mereka pergi ke tempat itu. Stuart selalu membawa biolanya agar bisa selalu memainkan lagu harta karun mereka.
Suatu hari ayah Stuart mengajak Stuart pergi ke sebuah pertunjukan musik. Mereka melewati rumah Brenda.
“Apa kau mau mengajakknya?” tanya ayah Stuart.
Stuart tampak berpikir, lalu menggeleng. “Mungkin ia sedang tidur”
Ayahnya tersenyum, kemudian melajukan mobilnya.
Di pertunjukan musik itu Stuart merasa senang. Banyak musik-musik indah yang ia dengar. Ia ingin memainkan musik seperti itu untuk Brenda.
Sepulang dari pertunjukan musik itu Stuart tak sabar ingin menceritakan yang tadi ia lihat kepada Brenda. Saat itu sekitar pukul 2 siang. Ada banyak mobil yang diparkir di halaman rumah Brenda. Stuart menjadi penasaran. Mungkin itu saudara Brenda dari jauh. Tapi disitu terdapat beberapa mobil polisi. Stuart pikir mungkin ayah Brenda sudah ditemukan
Sesampainya di rumah ibunya langsung memeluk Stuart. Ia menangis. Stuart tak mengerti.
“Ada apa bu? Apa yang terjadi?”
“Nak, temanmu mendapat musibah”
“Teman? Teman siapa? Musibah apa? Katakan ibu!”. Bicara Stuart mulai tak karuan.
Ibunya hanya menangis. Sepertinya ibunya tak kuasa mengatakannya. Tiba-tiba ayahnya masuk. Raut mukanya tegang.
“Ada apa, yah?”
“Stuart, temanmu, Brenda mengalami kecelakaan. Ayah dengar dari tetangga.”
“Ayah pasti bohong. Brenda masih hidup. Tetangga kita pasti bohong.”
“Nak, seharian ini kau tidak melihatnya. Dia tergelincir saat bermain di taman di ujung tikungan rumahnya. Kepalanya terbentur bebatuan. Tulang tengkoraknya retak.”
Stuart diam.
“Kau bohong” teriak Stuart. Ia berlari keluar. Berlari menuju rumah Brenda. Seorang pelayan memeluknya. Ia menceritakan semuanya. Stuart menangis. Ia menyesal. Kemudian ia berlari ke taman itu. Tampak garis polisi dililitkan pada batang pohon beringin. Stuart mendekat. Rumputnya basah karena tadi pagi sedikit hujan.
Stuart duduk di bawah pohon beringin itu. Kemudian ia mengambil sebatang kayu dan digunakannya untuk menggali. Diambilnya kotak kecil tempat harta itu disimpan. Dipeluknya kotak itu erat-erat. Kemudian ia menggali tanah lebih dalam. Ditaruhnya kotak itu dan dikubur dalam-dalam.
“Ini harta kita. Harta karun kita. Selamanya menjadi harta kita. Harta ini tanda bahwa kita pernah bersama disini,” kata Stuart pelan. Air matanya menetes.
Stuart berjalan pelan. Setiap langkahnya terasa berat. Didepan rumahnya ayahnya menunggu. Stuart duduk disebelah ayahnya.
“Sebaiknya lain kali kita ajak Brenda,” kata Stuart pelan. Kemudian ia masuk kedalam rumahnya.
Ayahnya tahu Stuart sangat terpukul. Jadi ia membiarkannya sendiri.
Pukul 8 tepat Stuart masuk ke kamarnya. Ia mengambil biolanya. Ia mencoba memainkan lagu itu. Beberapa notnya masih dia ingat. Lalu ia merebahkan diri di tempat tidur. Ia terlalu lelah hari ini.
“Tuhan, semoga hari ini hanya mimpi. Aku ingin saat aku bangun esok pagi semua ini tidak terjadi. Amin”. Stuart menangis. Ia menangis semalaman sampai-sampai ia tertidur.
***
Stuart membuka matanya. Rasa pusing menyerangnya. Ia tak mampu bangkit. Ia hanya bisa melihat sekeliling dan ini bukan kamarnya. Ruangan ini baunya seperti rumah sakit. Stuart melihat ayahnya duduk di sudut ruangan. Ibu dan kakaknya tidur di kursi dekat tempat ayahnya duduk. Stuart bersuara. Ayahnya menoleh.
“Stuart, kau bangun nak,” suara ayahnya memecah keheningan. Ibu dan kakaknya bangun.
“Cepat panggil dokter!” perintah ayahnya. Kakak Stuart bergegas.
“Ada apa ini? Kenapa aku terbaring disini?” tanya Stuart bingung.
“Apa kau ingat sesuatu?” tanya ayahnya.
‘Kemarin aku tertidur dan saat aku bangun tiba-tiba aku disini. Apa yang . . . tunggu..” Stuart menghentikan kalimatnya. Ia teringat sesuatu.
“Aku dejavu” katanya pelan.
“Apa?” tanya ayahnya penasaran.
“Apakah aku baru saja mengalami kecelakaan?” tanya Stuart. Ayahnya mengangguk. “Apa aku baru bangun dari koma selama 12 hari?”
“Nak, kau koma selama 5 bulan. Ayah khawatir padamu”
“5 bulan? Jadi itu cuma mimpi. Apa ada temanku yang meninggal?”
“Kau bicara apa? Ayah tak mengerti,”.
“Lupakan”. Stuart menarik napas panjang. Ia senang tak perlu melihat Brenda mati. Ia senang kejadian kemarin cuma mimpi .
Esoknya Stuart sudah diijinkan pulang. Ayahnya menjemputnya. Dalam perjalanan pulang ia sedikit berbincang dengan ayahnya. Di depan ada mobil berjalan pelan. Ayah Stuart kaget dan langsung menginjak rem. Mobil putih di depan sedikit tergores. Kedua mobil berhenti lalu orang di depan melihat kondisi mobilnya yang tergores cukup dalam. Ayah Stuart keluar dan langsung meminta maaf. Stuart keluar dari mobil. Ia mendekat. Lalu seorang gadis keluar dari mobil putih itu. Seorang gadis cantik bermata hijau. Wajah yang tak asing bagi Stuart.
“Hai, aku Brenda,”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar